Ibu dengan Gagal Jantung dan Gagal Ginjal

Share:
Agustus 2017
Adalah kenyataan yang begitu menyakitkan. Selama ini, kami, anak-anaknya hanya tau Ibu mengalami lemah dan penyempitan Jantung. Tapi bulan Agustus 2017, kami harus menerima kenyataan bahwa Jantung dan Ginjal Ibu sudah mengalami kegagalan atau Gagal Ginjal dan Gagal Jantung.


Keluar masuk rumah sakit, fase yang terjadi setelah Ibu dikatakan hidup dengan Gagal Jantung dan Gagal Ginjal. Gejalanya bengkak, namun semakin lama, semakin menjalar ke seluruh tubuhnya. Yang awalnya hanya di bagian kaki, sekarang merambat sampai ke wajahnya. Nah, sesak yang terjadi padanya adalah karena cairan itu sudah sampai di paru-paru. 

Hingga saat itu, badan ibu masih mengalami Bengkak yang tidak berkurang. Bahkan, Ibu yang tadinya masih bisa berjalan dan turun dari ranjang tidur malah sekarang tidak bisa membangunkan badannya. Pun jika menggerakan bagian tubuhnya, Ibu hampir tidak bisa. Bukan, ini bukan gejala seperti stroke, tapi memang badan Ibu yang bengkak membuatnya tidak kuat untuk menggerakkan bagian tubuhnya. Hanya tangan saja yang masih bisa bergerak.

Ditubuh bengkaknya, banyak juga sisa-sisa memar yang membekas akibat tusukan jarum infus atau saat memasukkan obat. Apalagi setelah transfusi darah, bagian yang dimasukkan jarum infus membekas memar ungu.

Baca juga cerita sebelumnya : Perjalanan Singkat Ibu sebelum Gagal Ginjal

Setelah beberapa kali menjalankan rawat inap, akhirnya Ibu harus menyerah kepada takdir. Kondisi yang kian memburuk membuat Ibu harus mau melakukan tindakan cuci darah atau Hemodialisa meskipun awalnya Ibu bersikeras tidak mau jika harus cuci darah.

Ibu dan Hemodialisa

Cuci darah sakit gak sih, Yang? Nanti kalau Ibu cuci darah, temenin, ya.
Aku ingat saat-saat Ibu memutuskan untuk bersedia melakukan Hemodialisa atau cuci darah. Aku tau Ibu takut. Aku tau Ibu ragu. Namun karena tekadnya ingin sembuh, ingin terus bersama anak-anaknya, akhirnya dia bersedia melakukan hemodialisa. Semangat dari aku, Bapak, Kakak dan keluarga lainnya juga tidak pernah putus. Tak bosan kami selalu mengingatkan Ibu untuk ikhlas dan tidak perlu takut.

Bukan hal baru jika ada orang yang bilang, pasien dengan gagal ginjal dan sudah melakukan hemodialisa mempunyai harapan hidup yang sedikit. Itu benar. Karena organ penting dalam tubuh sudah tidak berfungsi dengan baik, kinerja organ lain pun akan menjadi terhambat. Tapi tidak. Kami tidak mau putus asa. Dengan doa dan kemauan Ibu untuk sembuh, kami berharap penuh untuk kesembuhan. Ada hidup, ada pula yang mati. Tak sedikit Pasien dengan gagal ginjal  mampu bertahan hidup. Namun ada pula yang tak bisa bertahan lama. Ya, namanya juga umur.

Hari itu di bulan Oktober 2017. Ibu bersedia melakukan HD. Pertama, dokter melakukan operasi pemasangan alat untuk HD. Aku, Bapak, Kakak, Adik, Keponakan dan Pakde datang menunggu di Rumah Sakit. Setelah 2 jam menunggu, Ibu dibawa suster dari ruang operasi menuju ruangan HD. 

HD pertama yang dilakukan berjalan normal. Alhamdulillah, tidak ada reaksi negatif daru tubuh saat proses HD dilakukan. Semua berjalan dengan lancar. Katanya, kalau sudah 3x HD, pasien boleh kembali ke rumah. 

Namun setelah 3x melakukan HD, tak ada perubahan signifikan yang terjadi. Ibu masih dengan tubuh bengkaknya. Bahkan bengkak semakin menjadi sampai ke wajah yang menyebabkan mata Ibu hanya bisa terbuka sedikit.

Pahitnya lagi,  Ibu malah mengalami kejang-kejang dalam waktu yang cukup sering. Dalam sehari, Ibu bisa 3x kejang dan tak sadarkan diri karena harus disuntik obat penenang. Pernah suatu hari setelah kejang, Ibu tidak sadar dalam waktu 12 jam. Ah, iya. Saat itu perasaan sungguh campur aduk. Surat yasin dan ayat-ayat al-quran pun dibacakan ditengah tidaksadaran Ibu.

Ibu Rindu Rumah
Waktu berlalu, tak terasa ternyata Ibu sudah di rawat inap lebih dari 30 hari di rumah sakit ini. Dalam kondisi yang benar-benar tidak sehat, Ibu selalu merayu dokter untuk membolehkannya pulang. Ya, setelah beberapa kali merayu, akhirnya dokter benar-benar mengabulkannya asal tidak lagi kejang.

Waktu itu hari Jumat, Dokter membolehkan Ibu pulang. Namun siapa sangka, ternyata Ibu mengalami kejang lagi. Akhirnya, dokter menahan. Lewat hari sabtu tidak kejang, dokter pun membolehkan Ibu pulang pada hari minggunya.

 Awalnya kami bingung, apa iya bisa merawat Ibu di rumah dengan keadaan seperti ini? Tapikan, tak mungkin juga Ibu tinggal di RS sampai kondisinya benar-benar pulih. Lagi pula, mungkin di rumah ibu akan merasa lebih baik dan membuat kesehatannya menjadi lebih baik juga.

Siang sekitar pukul 2, Ibu benar-benar dibolehkan pulang. Kami senang. Meskipun Ibu pulang diantar ambulance dan ranjang tidur karena Ibu tidak bisa bangun dari tempat tidur, apalagi  berjalan. Tapi Ibu juga senang melihat rumah sudah lebih rapi sesuai harapan Ibu. Keinginannya untuk melihat Ubin atau lantai rumah tidak lagi hitam pun terwujud. Iya, selama Ibu sakit, kami memang merenovasi  rumah dengan mengganti Ubin keramik sesuai keinginan Ibu.

Hari menjelang sore. Nafas ibu mulai terlihat sesak. Beberapa kali Aku tanya, Ibu sesak? Namun dia mengelak. Waktu berjalan hingga hari larut malam. Aku memutuskan tidur di bawah tempat tidur Ibu supaya mudah memantau kondisinya. Sedang Ibu tidur di kasur bersama Mak Sarah, adik kandung Ibu yang kami jemput dari Pasuruan.

Keesokan paginya, aku bangun tidur dan melihat kondisi Ibu dengan keadaan bengkak pada bagian wajahnya. Nafasnya terlihat terengah-engah. Ibu nyesek? tanyaku lagi. Dia jawab, dikit. Aku mengajaknya ke Rumah Sakit. Tapi dia tidak mau. Nanti juga bengkaknya ilang, katanya.

Hari Senin itu, Ibu dijadwalkan cuci darah. Aku bergegas ke rumah sakit untuk bertanya prosedurnya sekaligus mengabarkan kondisi Ibu saat ini. Sesampainya di RS, pihak RS menyarankan agar membawa Ibu kembali ke Rs. Mereka tau, kondisi Ibu memang masih harus mendapat perhatian khusus.  Ibu juga tidak mungkin bisa melakukan HD hari itu. JIka memungkinkan, besok bisa.

Aku pulang ke rumah, merujuk Ibu untuk mau kembali ke RS. Ibu menolak dan tetap menolak. Sampai akhirnya, dia mau mengalah. Iya, aku tau, pasti dia merasakan sakit dan sesak dalam tubuhnya. Bu, ayo ke rumah sakit, biar dikasih obat, dikasih oksigen biar sehat.

Pagi menjelang siang, kakak menghubungi ambulance untuk menjemput Ibu. Petugas ambulance itu datang dan memberi pertolongan Pertama, yaitu oksigen layaknya suster di rumah sakit. Ya, aku melihat petugas itu menangangi Ibu dengan penuh hati-hati. Pelayanan yang diberikan sangatlah bagus. Dalam hati, pujiku kepada Pemerintah DKI Jakarta yang sudah menyediakan ambulance gratis dan petugas kesehatan yang sungguh sangat menolong.

Sesampainya di Rumah Sakit, tak banyak yang dilakukan suster dan dokter. Melihat dari rekap medis Ibu, mereka sudah tau bagaimana keadaan Ibu. Salah satu dokter jaga UGD menghubungi Dokter penyakit dalam yang sebelumnya menangani Ibu. Katanya, Ibu harus dirawat lagi.

Hari itu, ada yang berbeda dengan Ibu. Tak ada bantahan atau penolakan ketika dokter mengharuskan Ibu di rawat. Ya, aku tau. Ia telah pasrah akan apa yang diperintahkan dokter.

Hari berlalu dalam pengobatan Ibu di RS. Semua masih sama dan tak ada yang berubah. Belum ada perubahan meskipun HD sudah dilakukan. Ibu masih dengan tubuh bengakaknya. Malahan, Ibu lebih banyak tidur. Namun satu hal yang kami syukuri adaah Ibu tidak lagi mengalami kejang-kejang, apalagi obat epilepsi selalu diberikan oleh dokter.

Hidup dengan Gagal Jantung dan Gagal Ginjal
Jantung adalah bagian terpenting dalam tubuh. Begitupun Ginjal. Ketika mengalami ganguan, apalagi kegagalan, fungsinya membuang atau menyaring racun  menjadi terhambat hingga racun itu mengendap dan memberikan efek negatif dalam tubuh.

Sebulan lebih menjalani pengobaan rawat inap di Rumah Sakit. Harapan hidup bagi pasien gagal ginjal dan gagal jantung pun benar-benar diambang. Kemungkinan untuk sembuh sangatlah sedikit mengingat bahwa 2 organ penting itu sudah mengalami kegagalan fungsi. Ya, setiap kali bertanya bagaimana keadaan Ibu, dokter hanya bisa menyarankan kami untuk selalu berdoa.

Setiap kali menyemangati Ibu, ada banyak hal yang aku rasakan. Dengan kondisi yang seperti ini, apa iya Ibu bisa sembuh? Aku tak ingin memberi semangat harapan palsu dengan yang akhirnya hanya membuatnya kecewa dan terlalu berpikir berat. Tapi, aahh.. Biarlah takdir yang berbicara. Kami hanya berusaha melakukan yang terbaik untuk Ibu. Menyemangatinya agar tetap semangat melawan sakitnya.

Baca Cerita Selanjutnya: Ketika Ibu Pulang

No comments

Terima kasih atas kunjungannya.
Jangan lupa tinggalkan komentarmu, ya..
Tiada kesan tanpa komentar yang kau tinggalkan. ^,^